#VivaMacron !
8 Mei 2017
09.09 Pagi
Pagi hari di kelas DKV 1
Pada pagi hari ini, gue sedang
membuka situ berita andalan dan kesukaan. Meskipun berasal dari negara paman
sam, gue menyukai bagaimana data dan berita dipaparkan pada media tersebut.
Perancis yang sudah menyelenggarakan pemilunya, baik putaran pertama maupun
putaran keduanya, baru saja menemukan siapa presiden pilihannya. Maka dengan
senang hati gue bisa bilang bahwa, #VivaMacron.
Awalnya, gue belum tertarik dengan
isu ini. Apalagi sih yang harus di lihat dari negara uni eropa dengan
pertumbuhan ekonomi tinggi, negara maju dan bermacacm masalah dunia pertama
lainnya. Mereka belum merasakan wabah penyakit ataupun kelaparan, masalah
mereka bisa dibilang ecek. Sayangnya
pada beberapa tahun terakhir krisis tengah berhembus di angin Uni Eropa. Banyak
negara bertentangan atas satu isu, banyak individu yang berusaha masuk ke
daerah mereka, dan banyak penolakan serta krisis yang bisa terjadi. Bak
diramalkan, film-film sudah menggambarkan bagaimana keadaan saat ini terjadi.
Sama dengan banyak negara Eropa
yang krisis, Perancis tengah mengalami kegagalan demi kegagalan. Terorisme,
pengangguran, serta pertumbuhan ekonomi tidak banyak merubah kedaaan yang
semakin gloomy. Melalui penggambaran
media, gue melihat banyak rakyat Perancis tidak tersenyum, loyo dan singkatnya,
tidak bahagia.
Angin harapan kembali berhembus
ketika pilihan presiden selanjutnya dilangsungkan. Gue adalah orang yang
memperhatikan politik namun tidak terlalu senang berselisih dengan orang lain
karenanya. Sebagai mahasiswa sosial politik, sangat krusial bagi gue untuk
mengetahui perkembangan politik baik nasional maupun internasional. Namun
semakin gue memahami politik, semakin gue ingin
menghindari konflik yang ditimbulkan baik dari politik langsung maupun
hanya berpendapat mengenai politik.
Perancis pun sama. Ada dua buah
calon. Macron dan Le Pen, laki laki dengan perempuan dengan paham yang sangat
berbeda. Yang signifikan, Le Pen memiliki pandangan ekstrem kanan. Putri dari
pendiri partai front national ini adalah ibu dari tiga anak. Pada masa kampanye
nya, banyak menggunakan emosi takut sebagai senjata dan ancaman sebagai
peralatan. Mengapa gue menyebutkan ancaman? Karena penyebutan pengunduran diri
dari uni eropa – atau jika tidak berhasil – referendum (mirip seperti Brexit,
huh?), atau resistensi akan para pengungsi adalah salah dua dari hal yang
membuat gue sentimen terhadap Le Pen. Selain
itu, resistensi terhadap islam adalah salah satu alasan mengapa gue semakin
tidak suka dengan Le Pen. Bukan karena gue seorang muslim, namun karena gue
sedang belajar toleransi, dan segregasi bukanlah jawaban dari berpolitik sehat.
Padahal, jika menang, Le Pen akan
menjadi presiden perempuan pertama di Perancis. Sebenarnya jika ditilik dari
sisi lain, adalah sisi perempuan dan keadilan berpolitik yang ingin gue angkat.
Mungkin memang Le Pen memilih paham yang sesuai dengan dirinya, sesuai dengan
nilai dan sosialisasi yang berlangsung pada dinamika diri Le Pen. Namun, ironi
kembali diangkat ketika Le Pen sebagai seorang perempuan yang berpolitik.
Apakah harga menjadi figur perempuan pada dunia politik Uni Eropa sangatlah
mahal? Sehingga strategi berpolitik seperti Trump perlu dijadikan percontohan
dan menyebarkan ketakutan adalah cara berpolitik yang dipilih.
Naif, memang. Jika gue berharap
politik adalah dunia yang bersih. Tidak ada yang sebersih kertas, hingga dunia
agama yang dianggap suci saja bisa dicoreng dan dipermainkan. Kitalah manusia
yang berdiri tegap dan berkembang sebagai pengguna fasilitas dunia. Setidaknya,
saat ini Perancis tengah menghirup harapan barunya. Meskipun tanpa punggawa
partai dibelakangnya, hal ini menunjukkan bagaimana power of the people masih ada dan hidup di masyarakat.
Meskipun gue belum bisa meramalkan bagaimana Macron akan menghidupkan dunia
Perancis, namun setidaknya, ia tidak menggunakan ketakutan dan ancaman sebagai
senjnata politik di dalam lengannya.
#VivaMacron
0 comments: